Senin, 21 Maret 2011

Refleksi Hari Musik Nasional 9 Maret: Dangdut sebagai Identitas Budaya Indonesia

Refleksi Hari Musik Nasional 9 Maret:
Dangdut sebagai Identitas Budaya Indonesia


Oleh:M. Khatibul Umam*

Musik adalah bagian dari kehidupan masyarakat. Dia adalah karya seni yang memberikan nilai-nilai terhadap suatu bangsa. Kemajuan suatu bangsa tidak hanya terlihat pada perkembangan ekonomi dan politik. Posisi karya seni tentu merupakan hal yang tidak dapat diabaikan. Ini karena seni juga menjadi salah satu alat penanda tingkatan budaya suatu bangsa dan musik jelas menjadi bagian darinya.
Kondisi perkembangan musik Indonesia saat ini secara umum memang cukup menggembirakan. Lahirnya musisi muda, band-band baru dengan berbagai, genre, karakter dan style-nya bisa dianggap ”baik” secara kreativitas dan karya dalam pandangan seni. Namun, jika kita melihatnya sebagai parameter perkembangan budaya bangsa, tentu masih sangat jauh. Apalagi, disetarakan dengan negara-negara maju. Persentase perkembangan musik Indonesia saat ini cenderung bersifat hiburan. Apalagi, model musik hiburan di Indonesia masih sangat bergantung dan dipengaruhi oleh musik luar yang membanjiri konsumen musik Indonesia, bahkan cenderung menirunya.
Pada dasarnya bangsa Indonesia adalah bangsa kaya terhadap seni dan budaya. Bahkan, beberapa tahun terakhir banyak sekali budaya bangsa Indonesia yang secara tiba-tiba diakui sebagai budaya negara luar. Ketika masalah tersebut mencuat ke permukaan, barulah bangsa ini sadar akan budaya yang telah mereka tinggalkan. Begitu pula dengan musik dangdut. Kekhawatiran penulis akan tergesernya musik ini bukan tak beralasan. Remaja Indonesia kini lebih tertarik terhadap musik pop dan rock yang dianggap memiliki prestise lebih daripada musik dangdut. Beberapa bulan yang lalu penulis melihat video live musik ”Dangdut Cowboys”, band dengan musik berirama dangdut dan berasal dari Amerika. Walaupun mereka belum memproduksi lagu sendiri dan menggunakan instrumen yang sangat terbatas, penulis nilai mereka telah mampu menghadirkan ”cita rasa dangdut” cukup maksimal kepada penonton. Hal itu terlihat dari cara mereka membawakan lagu Kegagalan Cinta dan Terajana milik Bang Haji Rhoma Irama.

Sejarah Kemunculan Musik Dangdut

Musik keroncong merupakan bagian dari karya seni bangsa dan dianggap sebagai akar dari musik dangdut. Keroncong muncul sekitar 1880-an di daerah Tugu, Jakarta Utara, kemudian menyebar ke Kemayoran, Jakarta Selatan dan Gambir, Jakarta Pusat. Pada akhir 1960-an, grup-grup seperti Koes Plus, Mercy’s, Panbers, dan Bimbo mulai membuat inovasi karya dan memadukan unsur-unsur tertentu dari tradisi keroncong dan Melayu Deli. Upaya itu menghasilkan musik kontemporer yang memukau dengan penyanyi seperti Hetty Koes Endang, Titi Qadarsih, dan Emilia Contessa.
Ternyata keadaan tersebut dinilai positif oleh anak muda yang bernama Rhoma Irama (saat itu Oma Irama). Pada awal 1969 itulah dia mengenalkan ”musik baru” dan meninggalkan musik rock Barat yang sudah digelutinya. Intuisi bisnisnya pun berjalan. Secara perlahan Rhoma mulai berbelok 180 derajat pada musik Melayu sebagai alternatif dari musik yang dia geluti sebelumnya. Sekitar 1968, Rhoma beberapa kali bernyanyi bersama Orkes Melayu Purnama. Di situ dia bertemu Elvy Sukaesih (lahir 1951), seorang penyanyi musik Melayu yang lebih dulu mengembangkan pendekatan yang lebih baru.
Rhoma sangat terkesan dengan semangat dan pemasaran Orkes Melayu itu dan kemudian memperhitungkannya, memadukan pengalaman, dan didukung keinginan kuat untuk menciptakan musik yang baru serta harus menjangkau massa yang berbeda status sosialnya dari sebelumnya. Keinginan itu sepertinya mustahil diraih karena musik rock saat itu juga sedang gencar di kalangan remaja Indonesia. Apalagi, Rhoma menargetkan musik itu harus populer, melintasi garis batas kelas dan menarik sensibilitas semua lapisan masyarakat. Musik tersebut harus modern dan mampu menyampaikan pesan sederhana dalam bahasa yang mudah dipahami anak-anak muda di mana pun. Terakhir, musik baru itu tidak boleh menunjukkan keterkaitan dengan gaya Barat –harus bernuansa ”Indonesia” atau setidaknya ”Timur”– dan tidak semata-mata meniru gaya Melayu Deli yang diberi sentuhan Arab dan India (Frederick, 1997: 262). Keinginan Rhoma akhirnya terwujud nyata. Sekitar 1971, Soneta Grup lahir dan mereka tetap konsisten dengan musiknya hingga hari ini.

Menjaga Identitas Musik Indonesia
Musik dangdut merupakan bagian dari perkembangan budaya bangsa. Dia adalah aset budaya Indonesia yang harus dijaga. Ironisnya, masyarakat Indonesia justru ”malu” pada budayanya sendiri. Memang beberapa tahun terakhir musik dangdut mengalami perubahan dalam pertunjukannya, terutama pada beberapa penyanyi dangdut lokal yang dianggap memberikan citra buruk terhadap musik dangdut. Namun, itu bukan alasan untuk meninggalkan musik kita.
Menurut penulis semua itu terjadi karena beberapa alasan. Kurangnya apresiasi masyarakat terhadap musik dangdut dan dukungan beberapa pelaku industri musik Indonesia dan media membuat mereka melakukan berbagai macam cara untuk tetap eksis. Akhir 90-an musik dangdut di media masih berdampingan dengan genre musik lain dan musik kita mampu bersaing dengan mereka. Kini masyarakat terjebak dalam persoalan industri, selera, dan gaya hidup Barat yang semakin melekat. Mereka mendesain hasrat kita dan dibuat lupa kepada diri sendiri.
Karena itu, mari introspeksi kembali. Kita ubah mindset kita terhadap musik dangdut. Bagaimanapun, musik dangdut tetap menjadi identitas musik Indonesia. Semua ini kita lakukan untuk menjaga dan meningkatkan budaya kita serta perbaikan musik dangdut di masa yang akan datang.(*)

*Musisi, alumnus Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.

http://www.radarjogja.co.id/component/content/article/6-tajuk/14504-refleksi-hari-musik-nasional-9-maret-dangdut-sebagai-identitas-budaya-indonesia.html

Minggu, 13 Maret 2011

Aku menulis, maka aku ada





Terkadang harapan tentang terwujudnya mimpi-mimpi hanya terkuak ketika kita begitu yakin akan keberadaannya. Bermimpi adalah awal dari tindakan untuk menjadi gemilang dalam kehidupan. Mimpi tentang apa saja yang membuat hati merasa bangga menjadi diri sendiri. Walau kesungguhan belumlah ada dan ke-tidakpercaya-dirian menjadi tembok besar pengahalang yang berpeluang meruntuhkan angan-angan.

Begitu banyak kerikil-kerikil tajam terhampar dan berserakan tatkala mimpi itu mulai melambai di pintu gerbang kehidupan. Bagi mereka yang tangguh, mungkin akan berani bertetesan darah dan merintih perih dalam kesakitan. Namun, bagi mereka yang takut akan tantangan, akan tetap berdiam diri, bertekuk lutut, memandang kerikil-kerikil itu sebagai musuh maut yang akan membuat mereka jatuh bahkan mati.
Lantas bagaimana denganku? Dengan kalian dan mereka?

Apa yang kita inginkan dalam hidup ini adalah sebuah dimensi ruang yang akan mempertanyakan kepada sang waktu apakah kita sanggup meletakkan konsekuensi terbesar ketika keputusan kita menginginkan sesuatu tersebut mulai terpatri dalam sanubari.
Banyak dari kita hanya ingin mengenyam segala kenikmatan tanpa merasakan sakitnya. Itu fitrah manusia. Namun, apa ada nama-nama besar yang diperoleh orang-orang besar kecuali mereka banyak menelan asam garam kehidupan ???
Menjadi seorang penulis?

Dunia kepenulisan bak semesta nan isinya. Ketika hati kita diarahkan untuk memilih profesi sebagai penulis menjadi pilihan dalam bercita-cita, saat itu pula semesta menundukkan pandangan menuju kita. membaca, menulis adalah satu kesatuan utuh yang tak bisa dipisahkan. Dengan bacaan, pengetahuan semakin tajam, dengan menulis, pengetahuan tersalurkan.

Sebelum mimpi itu menjadi sebuah kefanatikan, satu hal yang harus ditanamkan dalam benak kita bahwa tak sedikit pula rintangan yang menanti untuk kita lalui. Beragam alasan dan kemalasan mungkin menjadi rintangan pertama bagiku, bagi kalian dan mereka yang ingin mengabdikan dirinya kepada bangsa dengan media tulisan.
Terkadang kita menganggap diri kita baik. Kita yakin bahwa kita dan karya yang kita hasilkan layak untuk dihadirkan. Dan kita pun menganggap bahwa Kesempurnaan telah kita genggam. Namun, orang lain sama sekali tak menaruh anggapan itu pada kita. lantas, apakah kita masih ingin mempertahankan keegoisan itu?, jangan…!. Satu pelajaran yang kudapatkan dari kawan baikku bahwa belajarlah untuk menilai segala sesuatunya dengan seimbang. Dengan istilah lainnya, segala aspek dalam hidup ini harus berlandaskan dalam penilaian yang sifatnya subyektif dan obyektif. Pandangan dari diri kita dan dari orang lain yang sama. Karena, hal tersebut akan mengajarkan diri kita untuk selalu ikhlas, welcome terhadap segala hal yang mau, sedang dan akan masuk dalam hidup kita. Serta meminimalisir keputusasaan yang kita rasakan tatkala kita masih belum mendapatkan apa yang kita inginkan. Karena kegagalan yang sejati adalah ketika kita memutuskan untuk tidak kembali bangkit saat kita terjatuh “gagal”.
Semua pelajaran yang kuperoleh bersumber dari kehidupan yang kujalani. Dengan pelajaran yang berisikan banyak pengetahuan-lah yang membujukku untuk menyalurkan semua itu melalui tulisan dan menjadi seorang penulis!
“belajarlah dan ajarkanlah”, karena hanya dengan dua kata tersebut hidup kita akan terasa hidup dan bermanfaat.
“sebaik-baik manusia adalah orang yang paling berguna (bermanfaat) bagi manusia lainnya.” (Hr. Mutafaqqun ‘alaih)

Aku berpikir bahwa dengan tulisanlah, namaku akan tetap dikenang. Dengan tulisan inspirasiku tetap mengalir. Dengan tulisan, dunia tak akan berhenti menuai pengetahuan. Dengan tulisan, kematian manjadi sebuah reinkarnasi kehidupan. Dengannya aku putuskan bahwa AKU MENULIS, MAKA AKU ADA.
Dan...
tatkala malam membuka tabir gelap
kutatih diri membaca gelap tanpa warna
tenggelamkan nadi dalam nada

diamku...

kutelusuri singgahsana semesta
mencari mozaik hidupku yang tercecer...!

kurindu...!
galau seraya menggrogoti rahang
mencumbui kering yang kerontang

namun...
sayap-sayap lain kepakkan dirinya
seolah bukakan tabir hidupku yang lewat
mengajariku arti huruf A-Z tentang kehidupan...!

hidupkan hidupku yang sempat mati suri..! 

aku ada, aku mengerti, aku mengenal diri
maka aku dekat dengan Dia.


@ Jogjakaryta, Midnight 01.05 am